Saat Aku Diam-Diam Iri

 Aku pernah merasa iri.

Tapi bukan iri yang terang-terangan,
lebih seperti rasa sedih yang muncul diam-diam
saat melihat orang lain dapat apa yang aku impikan.

Kadang aku cuma scroll media sosial,
dan tiba-tiba merasa… tertinggal.
Seseorang lulus lebih dulu.
Yang lain sudah menikah.
Temanku punya pencapaian yang aku bahkan belum berani kejar.

Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan kecil di dalam kepala:
“Apa aku lambat?”
“Kenapa aku belum sampai juga?”
“Kenapa semua orang terlihat lebih baik dariku?”

Aku tahu aku tak membenci mereka.
Tapi aku juga tahu, aku belum sepenuhnya berdamai dengan diriku.
Dan itu membuat iri terasa menyakitkan—karena seolah-olah aku kurang. Selalu kurang.

Sampai akhirnya aku sadar,
bahwa iri adalah emosi yang wajar.
Ia bukan musuh, tapi cermin.
Ia datang bukan untuk membuatku membenci orang lain,
tapi untuk menunjukkan: ada bagian dalam diriku yang sedang rindu tumbuh.


Dan di titik inilah aku mulai belajar satu hal penting.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak boleh iri kecuali pada dua hal:
seseorang yang Allah berikan harta dan ia menginfakkannya di jalan Allah,
dan seseorang yang Allah berikan ilmu lalu ia mengajarkannya.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Iri, jika diarahkan dengan baik (ghibthah), bisa menjadi motivasi.
Bukan untuk ingin menjatuhkan orang lain, tapi untuk ikut jadi versi terbaik dari diri sendiri.

Imam Al-Ghazali juga pernah berkata,
bahwa rasa iri yang tidak dikendalikan akan meracuni hati,
namun jika dikenali dengan jujur, bisa jadi petunjuk untuk memahami apa yang paling kita dambakan.

Jadi sekarang, ketika rasa iri datang,
aku tidak langsung mengusirnya.
Aku ajak bicara,
dan perlahan-lahan, aku ubah jadi doa:

“Ya Allah, jika itu baik bagiku, tuntun aku ke arah yang sama,
dan jika tidak, lapangkan hatiku untuk tetap bersyukur.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Hidup Terasa Berat, Ingat Ini...

Lelah Tapi Diam-Diam