Aku yang (Masih) Mencari Aku
Kadang aku merasa seperti orang asing di tubuhku sendiri.
Seperti sedang menjalani hidup yang ditentukan oleh suara-suara luar, bukan suara dari dalam.
Pernah nggak sih, kamu juga merasa seperti itu?
Jadi “anak baik” karena takut mengecewakan.
Jadi “teman asik” karena takut ditinggal.
Jadi “anak pintar” karena itu satu-satunya cara agar dianggap layak.
Padahal dalam hati, ada suara kecil yang bilang, “Ini bukan aku.”
Tapi... siapa aku, sebenarnya?
Itulah pertanyaan yang sering muncul di masa remaja — dan kadang terbawa sampai dewasa.
Kita tumbuh di tengah begitu banyak ekspektasi: dari orang tua, teman, sekolah, bahkan media sosial.
Dan tanpa sadar, kita mulai membentuk versi diri yang bisa diterima oleh semua orang — kecuali oleh diri kita sendiri.
Aku pernah berpikir identitas itu sesuatu yang harus aku temukan di luar sana.
Di pencapaian. Di pujian. Di pertemanan. Di validasi.
Tapi makin dicari, makin jauh rasanya.
Sampai aku sadar:
mungkin jati diri itu bukan sesuatu yang harus “ditemukan”, tapi sesuatu yang pelan-pelan dibangun.
Dari kejujuran pada diri sendiri.
Dari berani bilang “nggak” saat nggak sanggup.
Dari berhenti pura-pura kuat saat hati lagi remuk.
Dari menerima bahwa aku nggak harus sempurna untuk pantas dicintai.
Lucunya, semakin aku berhenti mencari “aku” di luar,
semakin aku mengenali diriku di dalam.
Dan rasanya… ringan. Meski nggak selalu mudah.
Jadi kalau hari ini kamu masih merasa bingung, masih mencari, masih bertanya-tanya “aku ini siapa?”
It’s okay.
Kamu nggak terlambat.
Nggak semua orang menemukan dirinya di usia belasan atau dua puluhan.
Kadang butuh hening. Kadang butuh luka. Kadang butuh waktu.
Dan itu manusiawi.
Pelan-pelan saja.
Kenali dirimu bukan karena siapa yang kamu harus jadi,
tapi karena siapa yang kamu mau terima,
apa adanya.
Komentar
Posting Komentar