Antara Pujian dan Luka yang Tak Terlihat

 Aku pernah merasa luar biasa, hanya karena satu kalimat:

“Kamu hebat banget.”
Tapi aku juga pernah merasa sangat kecil,
hanya karena satu komentar:
“Cuma segini doang?”

Lucunya, perasaan itu sering datang bukan karena kalimatnya saja,
tapi karena aku diam-diam menyandarkan nilai diriku pada orang lain.
Saat mereka memuji, aku merasa berharga.
Saat mereka merendahkan, aku merasa hancur.

Kenapa bisa begitu ya?

Mungkin karena sejak kecil, kita terbiasa dinilai dari luar.
Ranking, nilai, prestasi, sikap — semua ada standarnya.
Tanpa sadar, kita belajar bahwa “nilai diri” itu datang dari validasi.
Dan kalau tidak mendapatnya, kita bingung:
apakah aku masih layak? Masih cukup?

Tapi hidup terlalu panjang untuk terus dikendalikan oleh omongan orang.

Aku belajar — dan masih terus belajar —
untuk punya pusat nilai yang datang dari dalam.
Bukan berarti kita anti kritik atau tutup telinga dari pujian.
Tapi kita belajar memilah: mana yang pantas diterima,
dan mana yang bisa kita lepaskan tanpa perlu menyimpannya di hati.

Karena pada akhirnya, yang paling tahu seberapa berharganya kamu… adalah kamu sendiri.
Pujian bisa menyemangati,
hinaan bisa menyakiti,
tapi keduanya tak seharusnya menentukan nilaimu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Hidup Terasa Berat, Ingat Ini...

Lelah Tapi Diam-Diam

Saat Aku Diam-Diam Iri